Fenomena Kawin Kontrak dan Pertumbuhan Penduduk di Singkawang

Kota Singkawang berada sekitar 147 km dari Ibukota Propinsi Kalimantan Barat (Pontianak). Kehidupan masyarakat Kota Singkawang sangat dipengaruhi oleh 3 etnis besar, yakni Melayu, Dayak dan Tionghoa. Populasi penduduk kota Singkawang setiap tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Singkawang pada tahun 2008, tercatat sebanyak 198.907 jiwa, mayoritas penduduk adalah orang hakka/khek sekitar 62%, selebihnya suku Melayu, Dayak, Tio Ciu dan Jawa. Jumlah ini naik dari tahun 2007, yakni 197.079 jiwa. Pada tahun 2006 sebanyak 188.300 jiwa bermukim di kota ini. (Wikipedia)

Kebanyakan penduduk kota Singkawang berasal dari keluarga ekonomi tingkat rendah. Mereka bekerja sebagai pedagang serta bertani. Keluarga dengan tingkat ekonomi rendah ini memutar otak untuk mendapatkan uang dengan cara mengawinkan putri mereka secara kontrak. Hal ini terkenal dengan istilah ‘perdagangan amoi’. Fenomena ini terjadi sejak sekitar tahun 1980an. Sistemnya adalah dengan menikahkan putri mereka kepada orang asing (yang kebanyakan berasal dari Asia timur; Cina, Taiwan, dsb) secara kontrak. Dan mereka mendapat uang dari kontrak tersebut.

Para amoi (gelar yang diberikan oleh orang Melayu pada gadis Cina) itu akan mengikuti suami mereka ke negara asalnya. Dan ketika kontraknya telah habis, maka amoi akan dipulangkan kembali ke Indonesia. Sedangkan dalam prakteknya, amoi itu statusnya tidak lebih dari sekadar pembantu. Masalahnya adalah ketika ada anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Dalam kontrak nikah tidak disebutkan rincian apabila mereka memiliki anak. Jadi mau tidak mau, amoi harus membawa pulang anak mereka ke Indonesia, apabila kontrak nikahnya sudah habis.

Inilah salah satu penyebab pesatnya peningkatan jumlah penduduk di kota Singkawang. Hingga kini, hal itu belum dapat ditekan karena tidak adanya ketegasan pemerintah terhadap undang-undang yang mengatur hukum kawin kontrak.

Solusinya adalah dengan mengadakan gerakan terpadu berupa penyuluhan yang melibatkan tokoh masyarakat dan pemuka agama. Juga harus diberlakukan beberapa persyaratan administrasi yang dibutuhkan dalam perkawinan antarwarga negara. Misalnya, mesti ada surat keterangan dari kedutaan besar negara yang bersangkutan. Kawin kontrak versi Singkawang hanya dilakukan dengan memperlihatkan foto laki-laki dan perempuan calon, lalu dinikahkan melalui acara ritual Tionghoa. Setelah perwakilan laki-laki membayar uang kepada keluarga perempuan, mempelai wanita langsung diboyong ke luar negeri, melalui jasa sejumlah calo.

Pemerintah diharapkan memiliki program yang jelas dalam mengantisipasi praktek kawin kontrak. Apapun alasannya, praktek kawin kontrak mesti dihentikan, karena merugikan pihak keluarga perempuan. Oleh karena itu, program penyuluhan di kalangan pemerintahan otonom mesti dilakukan secara intensif, terprogram, dan mengikat semua pihak.

Leave a comment